21 Oktober 2010

Birokrat & Keteladanan


Keteladananan, adalah sebuah kata sederhana yang sangat mudah diucapkan dan sering kali menjadi pemanis bibir dalam retorika para petinggi Negara, pengamat politik hingga pimpinan dilevel desa termasuk pidato ketua RW dalam pertandingan olahraga antar kampung. Dalam dunia politik perilaku sebagai seseorang yang baik, yang patut diteladani semakin mengemuka seiring dengan menghangatnya proses tahapan pesta demokrasi secara nasional ataupun demokrasi lokal dan regional. Perilaku ini semakin menjadi komoditi untuk menarik simpati masyarakat secara umum yang secara nyata pada saat ini memiliki hak suara secara invidu untuk memilih pemimpin-pemimpinnya pada semua tataran.
Pada masa lalu pemilihan secara langsung untuk mendapatkan seorang pemimpin secara demokratis hanya pada tingkatan pemerintahan desa yaitu dalam proses pemilihan kepala desa. Pada pemilihan kepala desa ini masyarakat memiliki hak suara secara utuh untuk menentukan pilihannya meskipun interverensi pemerintahan yang lebih tinggi masih ada di beberapa wilayah dan memiliki kekuatan penentu yang menjadikan seseorang duduk dalam jabatan bergengsi di desa atau di dukuhnya. Tetapi yang pasti proses demokrasi secara utuh dapat terlaksana dan telah menjadi lokal genius atau kearifan lokal dan berproses dalam waktu yang cukup panjang. Secara harfiah kearifan lokal dapat diartikan sebagai bentuk perilaku masyarakat secara positif yang menjadi kebiasaan dan pada akhirnya menjadi budaya secara utuh dan tumbuh dalam ikatan aturan norma masyarakat serta memiliki ikatan batin yang erat dalam kawasan tersebut. Contoh kearifan lokal dalam masyarakat sunda adalah istilah pamali. Pada generasi lama istilah tersebut sangat akrab dan menjadi istilah yang memiliki kekuatan untuk menjaga perilaku masyarakat dari berbagai tindakan yang dapat merugikan masyarakat itu sendiri seperti untuk melindungi alam maka istilah pamali muncul sebagai larangan secara tidak langsung untuk menebang pohon sembarangan, merusak mata air, membunuh binatang hama secara membagi buta sehingga mengganggu rantai makanan dan ekosistem. Meskipun istilah pamali sering dikaitkan dengan keberadaan mahluk halus tetapi mampu menjadi bagian tak terpisahkan sebagai bentuk istilah kearifan lokal yang efektif dalam mengontrol perilaku masyarakat baik selaku mahluk sosial ataupun individu.
Dalam rangka meraih simpati rakyat maka segala kreasi dan inovasi dituangkan dan digelar dalam berbagai kegiatan pada berbagai tatanan, dibalut oleh rangkaian acara silaturahmi, pertandingan persahabatan, pemberian bantuan-bantuan ataupun berbagai acara seremonial seperti peletakan batu pertama, peresmian gedung, pembukaan kantor baru yang tentunya memiliki nuansa kepentingan masing-masing. Pada berbagai kegiatan tersebut terlihat bahwa beberapa individu yang maju menjadi calon pemimpin akan menunjukan berbagai sisi baik dan sebagai teladan yang perhatian, senang memberi bantuan ataupun sumbangan, murah senyum, ramah dan berbagai perilaku yang dapat diteladani oleh masyarakat, tetapi permasalahan yang mendasar saat ini adalah konsistensi dari perilaku keteladanan tersebut menjadi pertanyaan yang sangat besar bagi masyarakat, karena ternyata para calon pemimpin terlepas pada saat ini sedang memegang tampuk pimpinan ataupun belum menjadi pimpinan akan cenderung berperilaku sebagai sosok teladan dalam momentum kepentingan tertentu. Meskipun pada sisi yang lain tentunya kita tidak bisa menyamaratakan perilaku tersebut karena tentunya masih ada perilaku teladan dari individu baik sebagai pimpinan, tokoh masyarakat ataupun individu masyarakat sendiri yang secara tulus dan keluar dari nurani terdalam tanpa mengharapkan dukungan simpati sesaat tetapi karena aktualisasi kedinasan dan atau kemauan pribadi serta rasa syukur kepada Allah SWT.
Keteladanan dalam perspektif birokrasi saat ini menghadapi tantangan yang sangat berat karena ternyata secara umum hampir setiap hari kita disuguhi oleh berita di media massa tentang kaitan hukum yang membelit para pimpinan dan mantan pimpinan kita di level nasional yang notabene level puncak dalam pemerintahan suatu negara, seperti masih berlarutnya pengusutan tentang kasus harta kekayaan mantan presiden RI Almarhum Bapak Soeharto. Aliran dana yang menyeret para pejabat dan mantan pejabat Bank Indonesia, mantan Kapolri menjadi pesakitan tersandung kasus pada saat berdinas menjadi Duta Besar di Malaysia, anggota Komisi Pemilihan Umum, Anggota Komisi Yudisial, termasuk sejumlah menteri juga pejabat Negara lainnya yang ternyata secara hukum divonis bersalah pada tingkatan pengadilan tertentu. Pada Level regional dan lokal terdapat beberapa gubernur, walikota dan bupati yang sedang menjalani proses peradilan dan juga yang berkeputusan tetap seperti Gubernur Kalimantan Timur, Bupati Kutai Kartanegara, Walikota Makasar, termasuk anggota DPRD sampai level kepala desa dan perangkatnya yang tersangkut masalah distribusi beras miskin (raskin).
Kenyataan ini menjadi hal mendasar yang menjadi patokan bagi masyarakat, yaitu nilai keteladanan dari para pemimpin yang ternyata dimata hukum dinyatakan bersalah, sehingga akan terjadi pergeseran kepercayaan masyarakat kepada pemimpinnya. Meskipun di satu sisi tetap saja banyak yang ingin menjadi pemimpin ataupun sangat ingin menjadi pemimpin sementara di sisi lain nilai keteladanan semakin terdegradasi sehingga masyarakat kehilangan pegangan dan cenderung apatis. Termasuk dalam aktifitas birokrasi yang notabene adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat pada akhirnya terkooptasi oleh contoh-contoh yang tidak baik secara terstruktur sehingga menjadi warna tersendiri bagi birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Kecenderungan yang terjadi dalam dunia birokrasi saat ini tetap berkutat pada bentuk pelayanan yang bertele-tele, melelahkan, mahal dan tidak transparan. Akibatnya anggapan masyarakat terhadap pelayanan aparat tetap miring meskipun berbagai terobosan dan inovasi tetap bermunculan seperti PPTSP (Pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu) di beberapa Pemerintah Kota dan Kabupaten sehingga berbagai perijinan yang selama ini dilayani secara tersebar di beberapa instansi pemerintah digabung dalam satu naungan dan satu pintu sehingga meminimalisir mata rantai perijinan yang relatif panjang dan rawan terhadap pungutan liar menjadi lebih singkat dan jelas, terukur dan diharapkan dapat memberikan pelayanan yang optimal kepada masyarakat.
Selaras dengan berapa inovasi tersebut ada hal sederhana yang secara kasat mata mulai luntur dalam relung hati para birokrat karena tergerus oleh berbagai bentuk ketidakteladanan dalam berbagai level birokrasi yaitu budaya ‘mendengar’. Artinya seorang aparatur pemerintahan tidak hanya berkutat dalam petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan pekerjaan secara kaku ataupun bergelut dengan kegiatan rutin pemerintahan yang tidak pernah ada habisnya termasuk dalam melayani masyarakat berdasarkan target yang dibebankan kepadanya, tetapi belajarlah meluangkan sedikit waktu untuk mendengar berbagai keluhan masyarakat secara seksama, penuh empati dan memberikan pandangan yang tidak menggurui tetapi menjadi teman sharing, bertukar pendapat tidak terbatas urusan pemerintahan tetapi dapat merambah kepada hal-hal lain yang diminati.
Meskipun memang memerlukan pengorbanan waktu, dan tenaga tetapi secara hikmah akan menjadi oase penyejuk bagi warga masyarakat dalam mengubah citra birokrasi yang kaku menjadi birokrasi yang ‘mendengar’. Sikap mendengar ini yang dapat menjadi salah satu bentuk keteladanan perilaku birokrasi dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan di masyarakat.. Karena tahapan penyelesaian masalah akan lebih komprehensif dan focus jika sikap keteladanan ‘mendengar’ ini dioptimalkan. Formulasi kebijakanpun akan dapat lebih membumi karena sense of belonging masyarakat akan kuat. Pada tahapan selanjutnya akan menumbuhkan kembali rasa percaya masyarakat kepada pemerintahan dari mulai Ketua RT, RW, Kepala Desa sampai level Presiden dan para menteri sebagai pembantunya. Maka pada akhirnya kita harus ingat pepatah lama bahwa ‘tersedak bukan oleh tulang yang besar tetapi justru oleh serpihan tulang yang kecil’. Oleh karena itu bagi birokrat mari kita mulai kembali membangun kepercayaan masyarakat dengan belajar melakukan salah satu perilaku teladan yang sederhana yaitu sikap ‘mendengar’.